Rabu, 28 Desember 2016

Dimensi Keberagamaan

    Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak jaman dahulu, sebelum manusia mengenal agama, mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat inderanya, diyakini adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam smesta ini. Dan untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut, maka di buatlah mitos-mitos. Misalnya untuk untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen dan memberikan korban korban dan sebagainya.
    Kemudian setelah ada agama, manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah mahluk religious dan mahluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama
   Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orangtua dalam lingkungan keluarga. Karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Pendidikan agama juga perlu diterapkan di sekolah.

   Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN meamsukan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Dan disini perlu ditekankan bahwa walaupun pengkajian agama melalu mata pelajaran agama ditingkatkan. Namun  harus disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi, segi-segi afektif harus diutamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar